BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada Hukum Indonesia tidaklah luput dari yang namanya hukum kekeluargaan. Mengingat semakin maraknya kasus yang ada di Negara Indonesia ini tentang problematika rumah tangga, baik itu tentang kekerasan suami terhadap istri atau kekejaman orang tua terhadap anak kandungnya sendiri. Karena pada dasarnya mereka kurang begitu memahami asas-asas dari hukumkeluarga itu sendiri.
Maka dari itu di dalam makalah ini kami akan membahas tentang pengertian, sumber-sumber, asas-asas, dan ruang lingkup serta hak dan kewajiban didalam suatu hukum keluarga.
Istilah hukum keluarga berasal dari kata Familierecht yang diterjemahkan dari bahasa belanda, atau dari bahasa inggris law of familie. Ali Afandi mengatakan bahwa hukum keluarga diartikan sebagai “keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan” (Afandi, 1986: 93).
1.2.Tujuan Makalah
Pembahasan pada makalah ini yang mana isinya membahas tentang asas-asas hukum kekeluargaan bertujuan supaya kita mengetahui bagaimana seluk beluk dari pada hukum kekeluargaan di Indonesia ini, mengaca pada kasus-kasus yang sering terjadi didalam negeri Indonesia ini, terutama pada kalangan artis di Indonesia ini, seperti kasus perceraian yang begitu marak sekali pada segala bentuk media informasi ataupun media cetak.
Maka dari itu dengan tersusunya makalah ini, kami berharap semoga mendapat tambahan ilmu tentang kehidupan kekeluargaan yang berasaskan Undang-Undang tentang perkawinan. Amiiin,……!
1.3.Rumusan Makalah
1.3.1. Apa Definisi Dari Hukum Keluarga itu?
1.3.2. Dari Manakah Sumber-Sumber Hukum Keluarga Itu?
1.3.3. Apa Sajakah Asas-Asas Hukum Keluarga Itu?
1.3.4. Mencakup Apa Sajakah Ruang Lingkup Hukum Keluarga Itu?
1.3.5. Apa Saja Hak Dan Kewajiban Dalam Suatu Hukum Keluarga?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Pengertian Hukum Keluarga
Jadi, peraturan-peraturan hukum yang ditimbulkan dari adanya hubungan keluarga, seperti hukum tentang perkawinan, tentang perwalian dan lain-lain.
Sebagaimana yang dikemukakan Ali Afandi[2] pada teks yang ada pada pendahuluan makalah ini. Ada dua pokok kajian dalam pengertian/definisi hukum keluarga, yaitu mengatur hubungan hukum yang berkaitan dengan kekeluargaan sedarah dan perkawinan. Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat pada beberapa orang yang mempunyai leluhur yang sama. Sedangkan kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dari istri (suaminya).
Tahir Mahmoud mengartikan :”hukum keluarga sebagai prinsip-prinsip hukum yang diterapkan berdasarkan ketaatan beragama berkaitan dengan hal-hal yang secara umum diyakini memiliki aspek religius menyangkut peraturan keluarga, perkawinan, perceraian, hubungan dalam keluarga, kewajiban dalam rumah tangga, warisan, pemberian mas kawin, perwalian, dan lain-lain”.[3]
Definisi yang terakhir ini mengkaji dua hal, yaitu tentang prinsip hukum dan ruang lingkupnya. Prinsip hukum berdasarkan ketaatan beragama. Ruang lingkup kajian hukum keluarga meliputi peraturan keluarga, kewajiban dalam rumah tangga, warisan, pemberian mas kawin, perwalian, dan lain-lain. Definisi ini sangat luas karena mencakup warisan, padahal di dalam hukum perdata barat, warisan merupakan bagian dari hukum benda. Pendapat lain disebutkan bahwa hukum keluarga adalah :
“Mengatur hubungan hukum yang timbul dari ikatan keluarga. Yang termasuk dalam hukum keluarga ialah peraturan perkawinan, peraturan kekuasaan orang tua dan peraturan perwalian”.[4]
Definisi terakhir ini hanya difokuskan pada peraturan perkawinan, peraturan kekuasaan orang tua, dan perwalian yang bersumber dari hukum tertulis, sedangkan hal yang berkaitan dengan peraturan perkawinan tidak tertulis tidak mendapat perhatian, padahal dalam masyarakat Indonesia masih mengenal hukum adat, sehingga ketiga definisi diatas perlu dilengkapi dan disempurnakan. hukum keluarga adalah keseluruhan kaedah-kaedah hukum (baik tertulis maupun tidak tertulis) yang mengatur hubungan hukum mengenai perkawinan, perceraian, harta benda dalam perkawinan, kekuasaan orang tua, pengampuan dan perwalian.
Hukum keluarga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
- Hukum keluarga tertulis
- Hukum keluarga tidak tertulis
Hukum keluarga tertulis adalah kaedah-kaedah hukum yang bersumber dari UU, yurisprudensi, dan traktat. Sedangkan hukum keluarga tidak tertulis adalah kaedah-kaedah hukum keluarga yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan masyarakat (kebiasaan). Seperti misalnya, marari dalam kehidupan masyarakat sasak. Yang menjadi kajian hukum keluarga meliputi perkawinan, perceraian, harta benda dalam perkawinan, kekuasaan orang tua, pengampuan, dan perwalian.
2.2.Sumber-Sumber Hukum Keluarga
Pada dasarnya sumber hukum keluarga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu, sumber hukum keluarga tertulis dan tidak tertulis. Sumber hukum keluarga tertulis adalah sumber hukum yang berasal dari berbagai peraturan perundangan, yurisprudensi, dan traktat, sedangkan sumber hukum keluarga tak tertulis adalah sumber hukum yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Sumber hukum keluarga tertulis, dikemukakan berikut ini.
1. Kitab undang-undang hukum perdata (KUH Perdata).
2. Peraturan perkawinan campuran (regelijk op de gemengdehuwelijk), Stb. 1898 Nomor 158.
3. Ordonansi perkawinan indonesia, kristen, jawa, minahasa, dan ambon, Stb. 1933 Nomor 74.
4. UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk (beragama islam)
5. UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
6. PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
7. PP Nomor 10 Tahun 1983 jo. PP Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
Di samping itu, yang menjadi sumber hukum keluarga tertulis adalah inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam ini hanya berlaku bagi orang-orang yang beragama islam.
2.3.Asas-Asas Hukum Keluarga
Berdasarkan hasil analisis terhadap KUH Perdata dan UU Nomor 1 Tahun 1974 ditemukan 5 (lima) asas yang paling prinsip dalam hukum keluarga yaitu:
1. Asas Monogami (pasal 27 BW; pasal 3 UU Nomor 1 Tahun 1974)
Asas Monogami mengandung makna bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
2. Asas Konsensual, suatu asas bahwa perkawinan atau perwalian dikatakan sah apabila teradapat persetujuan atau konsensus antara calon suami-istri yang akan melangsungkan perkawinan atau keluarga harus dimintai persetujuanya tentang perwalian (pasal 28 KUH Perdata; pasal 6 UU Nomor 1 Tahun 1974).
3. Asas Persatuan Bulat, suatu asas dimana antara suami isteri terjadi persatuan harta benda yang dimilikinya (pasal 119 KUH Perdata).
4. Asas Proposional, suatu asas di mana hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan di dalam pergaulan masyarakat (pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1874).
5. Asas Tak Dapat Dibagi-Bagi, suatu asas bahwa tiap-tiap perwalian hanya terdapat satu wali (pasal 331 KUH Perdata). Pengecualian dari asas ini adalah :
- Jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup paling lama maka kalau ia kawin lagi, suaminya menjadi wali serta/wali peserta (pasal 351 KUH Perdata).
- Dan jika sampai ditunjuk pelaksana pengurusan yang mengurus barang-barang dari anak dibawah umur diluar Indonesia (pasal 361 KUH Perdata).
Asas-asas itu dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan dan penegakan hukum keluarga, khususnya tentang perkawinan. Seperti diketahui bahwa di dalam masyarakat kita masih banyak yang belum memahami asas-asas yang tercantum dalam hukum keluarga, hal ini terlihat pada banyak kasus-kasus perkawinan dibawah umur dan banyaknya perkawinan liar. Akibat dari menonjolnya perkawinan di bawah umur adalah tingginya angka perceraian. Semakin tinggi angka perceraian, semakin banyak wanita yang menjanda. Akibatnya anak-anak mereka tidak terurus dengan baik. Oleh karena itu, diharapkan supaya asas-asas dalam hukum keluarga dapat disosialisasikan dalam masyarakat, sehingga angka perceraian dapat ditekan seminimal mungkin.
2.4.Ruang Lingkup Hukum Keluarga
Apabila kita kaji definisi yang dikemukakan pada pengertian hukum keluarga maka dapat dikemukakan ruang lingkup kajian hukum keluarga.
Ia memuat peraturan tentang :
- Perkawinan, termasuk hubungan-hubungan yang bercorak hukum harta antara suami-isteri (huwelijksgoederecht)
- Hubungan antara orang tua dan anak (ouderlikemacht)
- Hubungan antara wali dan anak yang diawasi (voogdij)
- Hubungan antara orang yang diletakkan dibawah pengampuan karena gila atau pikiran yang kurang sehat atau karena pemborosan, dan pengampunya (curatele)
Namun, menurut Salim HS didalam tulisanya, bahwasanya didalam bagian hukum keluarga hanya difokuskan pada kajian perkawinan, perceraian dan harta benda dalam perkawinan karena apabila mengkaji ketiga hal itu, telah mencakup secara singkat tentang pembahasan kekuasaan orang tua, pengampuan, dan perwalian.
2.5.Hak Dan Kewajiban Dalam Hukum Keluarga
Hak dan kewajiban dalam hukum keluarga dapat dibeda-bedakan menjadi tiga macam, yaitu:
1. Hak dan kewajiban antara suami-istri;
2. Hak dan kewajiban antara orang tua dengan anaknya;
3. Hak dan kewajiban antara anak dengan orang tuanya manakala orang tuanya telah mengalami proses penuaan.
Hak dan kewajiban antara suami-istri adalah hak dan kewajiban yang timbul karena adanya perkawinan antara mereka. Hak dan kewajiban suami istri diatur dalam pasal 32 sampai pasal 36 UU Nomor1 Tahun 1974. Hak dan kewajiban antara suami-istri adalah sebagai berikaut.
1. Menegakkan rumah tangga.
2. Keseimbangan dalam rumah tangga dan pergaulan masyarakat.
3. Suami istri berhak melakukan perbuatan hukum.
4. Suami istri wajib mempunyai tempat kediaman yang tetap.
5. Suami istri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia, dan member bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
6. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan rumah tangga sesuai dengan kemampuanya.
7. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
Apabila kewajiban-kewajiban itu dilalaikan si suami maka istri dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.
Hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak diatur dalam pasal 45 sampai dengan pasal 49 UU Nomor 1 Tahun 1974. Hak dan kewajiban orang tua dan anak dikemukakan berikut ini.
1. Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri (pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974).
2. Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik (pasal 46 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974).
3. Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya, manakala sudah tua (pasal 46 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974).
4. Anak yang belum dewasa, belum pernah melangsungkan perkawinan, ada di bawah kekuasaan orang tua (pasal 47 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974).
5. Orang tua mewakili anak di bawah umur dan belum pernah kawin mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan (pasal 47 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974).
Kewajiban yang ketiga disebut dengan alimentasi. Alimentasi adalah kewajiban dari seorang anak untuk memberikan nafkah terhadap orang tuanya manakala sudah tua.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
n Pengertian Hukum Keluarga (familierecht / law of familie)
ü Keluarga adalah kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami istri & anak yang berdiam dalam suatu tempat (dalam arti sempit)
ü Hukum Keluarga adalah mengatur hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah & perkawinan.
ü Jauh dekat hubungan darah mempunyai arti penting dalam perkawinan, pewarisan dan perwalian dalam keluarga.
n Sumber Hukum keluarga
ü Sumber hukum keluarga tertulis
· Adalah kaidah-kaidah hukum yang bersumber dari UU, Yurisprodensi & traktat.
ü Sumber hukum yang tidak tertulis adalah :
· Kaidah-kaidah hukum yang timbul, tambah, & berkembang dalam kehidupan masyarakat.
ü Yang menjadi kajian hukum keluarga meliputi perkawinan, perceraian, harta benda dalam perkawinan dsb.
n Sumber Hukum Tertulis
· KUH Perdata
· Perarturan Perkawinan Campuran (Regelijk op de Gemengdehu welijk), Stb 1898 No.158
· Ordonansi Perkawinan Indonesia, Kristen, Jawa, Minahasa dan Ambon, Stb.1933 No.74
· UU No.32/1954 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk
· UU No.1/ 1974 Tentang Perkawinan, dengan berlakunya UU ini mencabut berlakunya ketentuan-ketentuan mengenai perkawinan & segala akibat hukumnya yang terdapat dalam buku I KUH Perdata.
· PP No.9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
· PP No.10 / 1983 jo. PP No. 45 / 1990 Tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian Bagi PNS.
· Inpres No.1/1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
n Ruang Lingkup Hukum Keluarga
ü Perkawinan
ü Perceraian
ü Harta Benda dalam perkawinan
3.2. Saran
Sebagaimana pepatah “tiada gading yang tak retak”, kami ibaratkan sebagai kemampuan dan keterbatasan intelek kami. maka, jika terdapat banyak kekeliruan baik dalam segi materinya ataupun dalam segi tulisanya kami memohon maaf yang sebesar-besarnya. jazakumullah ahsanal jaza’.
DAFTAR PUSTAKA
Apeldoorn,Van, 1985, Pengantar Ilmu Hukum,cetakan X. Jakarta: Pradnya Paramita
HS, Salim, 2009, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), cetakan VI, Jakarta,: Sinar Grafika
______, Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia, Surabaya: Arkola
Subekti, R, Dan R. Tjitrosudibio, 2006, kitab Undang-Undang Hukum Perdata, cetakan ke-37, Jakarta: Pradnya Paramita
[2] “keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan”
terima kasih keren
ReplyDeleteDep. Perdata FH UII Selenggarakan Kuliah Umum Hadapi MEA Soal Perlindungan Konsumen